Selasa, 30 Oktober 2012

Sintren

Yah daripada posting tentang kuliah melulu, mending kita Intermezzo sejenak aja. Ya nggak gan?

Sekali-kali nostalgia masa kecil akh. Ane masih inget banget dulu di kampung ane ada suatu tradisi, ya bukan tradisi sich. Cuma sejenis tarian. Namanya Sintren. Apaan tuch Sintren? Kalo yang udah tau syukur dech. Tapi ada yang belom tau ane kasih tau dech. Sintren sejenis tarian
yang dilakukan oleh seorang gadis belia yang masih perawan (kalo nggak salah), diiringi oleh gamelan, nyanyian sejenis mantra-mantra yang dinyanyikan oleh sinden dan dipimpin oleh seorang pawang. Yang bikin aneh adalah pas pertama penarinya masih pake baju biasa n diiket badannya. Trus juga ada baju yang dilipat (kayanya sich buat baju pentas). Abis itu penari n lipatan baju ditutup pake sejenis kurungan ayam. Setelah dimantrain n dibuka, penarinya udah ganti baju n iketannya udah lepas. Ane masih bingung gimana caranya.


Wah, dulu kampung ane rame banget gan pas ada Sintren ini. Ada yang jual rokok, jual lotre, pokoknya banyak banget. Hehehe. O ya, ane hampir lupa. Sintren berdasarkan etimologinya merupakan gabungan dari dua suku kata yaitu "Si" dan "Tren". Si dalam bahasa jawa yaitu "dia" dan "Tren" yaitu "tri" atau "putri". Jadi Sintren itu artinya seorang putri.

Sintren ini nggak diketahui siapa penemu ato pemrakarsanya. Entah karena nggak ingin dipublikasikan, karena milik bersama, ato yang lain.

Asal usul Sintren ini memiliki banyak versi gan, versi pertama berdasarkan kisah percintaan R. Sulandono dan Sulasih. Dan versi yang kedua berdasarkan kisah percintaan Ki Bahurekso dan Rantamsari. Terserah agan mau pilih yang mana. Khan sama-sama kisah percintaan. Hehehehe

Ane jelasin versi yang pertama gan.


Pada zaman dahulu, Kalisabak dipimpin oleh seorang penguasa bernama Raden Bahureksa. Ia tinggal bersama istrinya yaitu Roro Rantamsari dan putranya, Raden Sulandono. Raden Sulandono tumbuh menjadi seorang pangeran yang tampan dan baik budi pekertinya. Perilakunya yang sopan dan tidak membeda-bedakan teman pergaulan, menjadikannya memiliki banyak teman. Ia suka bergaul dengan rakyat biasa, dan berkunjung sampai ke desa-desa.

Sementara itu, di sebuah dusun di wilayah Kalisabak, ada seorang gadis bernama Sulasih. Sulasih, gadis cantik berbudi itu menjadi kembang desa.

Suatu hari saat berkunjung ke desa itu, bertemulah Raden Sulandono dengan Sulasih. Raden Sulandono langsung jatuh cinta pada Sulasih. Cinta mereka pun bertaut. Namun rupaya Raden Bahureksa menghalangi cinta putranya. Ia beranggapan Sulasih tidak cocok untuk putranya. Walaupun terus dihalang-halangi ayahnya, hubungan cinta Raden Sulandono dan Sulasih terus berlanjut. Tak lama berselang, Raden Bahureksa meninggal dunia, disusul Roro Rantamsari.

Sebenarnya, banyak pemuda yang terpikat pada kecantikan Sulasih. Suatu waktu, Sulasih disembunyikan oleh para pemuda itu agar tidak dapat bertemu lagi dengan Raden Sulandono. Mengetahui kekasihnya disembunyikan, maka terjadi pertarungan antara Raden Sulandono dengan para pemuda desa tersebut. Dan karena dikeroyok, Raden Sulandono pun kalah. Namun sebelum celaka, Raden Sulandono diselamatkan oleh roh Roro Rantamsari yang kemudian memerintahkan Raden Sulandono untuk bertapa dan memberinya sehelai saputangan. Dia disarankan untuk menjadi penari pada upacara bersih desa yang akan datang.

Pada malan bulan purnama pada saat upacara bersih desa dimulai, melalui perantara Roro Rantamsari, roh bidadari didatangkan agar menyatu ke dalam tubuh Sulasih sehingga ia mampu menari di acara bersih desa. Roh Rantamsari kemudian mendatangi Raden Sulandono yang sedang bertapa agar segera bangun dan cepat-cepat mendatangi upacara bersih desa tersebut. Dalam kesempatan itu Raden Sulandono melemparkan saputangan pemberian ibundanya, maka pingsanlah Sulasih yang sedang menari. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Raden Sulandono yang segera membawa lari Sulasih.

Trus ini versi keduanya gan.

Untuk memisahkan cinta Ki Bahurekso dan Rantamsari, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.
Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.
Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Nah itu cerita dari kedua versinya gan. Menurut ane sich ada kemiripan. Kalo menurut agan gimana? :D
Wah, nggak nyangka sejarahnya kaya gitu. Tapi sayang, udah beberapa tahun ini kampung ane nggak ada yang mentasin lagi. Entah kekurangan penari ato nggak ada regenerasi. Ane nggak tahu gan. :'-( . Yang jelas sintren ini jangan sampe musnah apalagi diklaim oleh negara lain. Ane salut ama kelompok-kelompok tari yang masih peduli dengan kebudayaan kita ini.
Kayanya cukup sekian dulu Intermezzo kita kali ini.Sebenernya ini bukan Intermezzo, tapi posting tentang kebudayaan. Ane sebut Intermezzo karena dari kemaren-kemaren bahas materi kuliah terus. Seperti biasa, tunggu postingan ane selanjutnya. :D

dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar